Menghindari Pola Komunikasi Agresif dan Pasif pada Anak: Anjuran dari Psikolog Anak Fabiola Priscilla. (Gambar ilustrasi) |
JAKARTA - Ketika berkomunikasi dengan anak, sering kali orang tua tanpa sadar menggunakan pola komunikasi yang agresif atau pasif. Psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Fabiola Priscilla, M.Psi, menekankan pentingnya menghindari kedua pola komunikasi tersebut untuk menjaga kesehatan mental anak.
Pola Komunikasi Agresif
Pola komunikasi agresif sering kali muncul saat orang tua merasa kesal atau frustrasi. Misalnya, saat orang tua mengatakan, "Enggak usah pulang-pulang sekalian," kepada anak yang terlambat pulang setelah bermain. Menurut Fabiola, kalimat seperti ini dapat menyakiti perasaan anak dan merusak hubungan antara orang tua dan anak. Pola komunikasi agresif ini dapat membuat anak merasa tidak diinginkan dan kurang dihargai.
Pola Komunikasi Pasif
Sebaliknya, pola komunikasi pasif juga bisa berdampak negatif. Contohnya, ketika orang tua menyindir hasil ulangan anak dengan mengatakan, "Aduh, anak tetangga bisa 80 nih, masa kamu tidak bisa dapat 85?" Kalimat ini, meskipun terdengar lembut, sebenarnya mengandung unsur perbandingan yang bisa membuat anak merasa tidak cukup baik dan kehilangan kepercayaan diri.
Mengapa Kedua Pola Ini Tidak Dianjurkan?
Kedua pola komunikasi ini, baik agresif maupun pasif, bisa menyakiti perasaan anak dan merusak rasa percaya diri mereka. Oleh karena itu, Fabiola menganjurkan orang tua untuk menerapkan pola komunikasi asertif. Pola komunikasi asertif adalah cara menyampaikan harapan dan aturan dengan jelas namun tetap menghargai perasaan anak.
Pola Komunikasi Asertif
Fabiola memberikan contoh pola komunikasi asertif yang dapat diterapkan orang tua: "Mama harap kamu pulang jam empat sore, nak. Supaya kamu bisa mandi dulu sebelum kamu main, mama yakin kamu bisa melakukan itu kok." Dengan kalimat seperti ini, anak akan lebih mudah memahami dan menerima aturan yang diberikan karena disampaikan dengan cara yang positif dan mendukung.
Pentingnya Dukungan dari Guru
Selain orang tua, peran guru juga sangat penting dalam perkembangan anak. Kepala Sekolah Dasar BPK Penabur Pondok Indah, Evert F. Fanggidae, menegaskan bahwa anak didik seharusnya difasilitasi, bukan dipaksa. Guru yang memaksa anak untuk belajar lebih cepat, misalnya, dapat menciptakan suasana kelas yang tidak efektif. Sebaiknya, guru mengajak anak berdiskusi untuk memahami potensi dan minatnya, kemudian memberikan dukungan sesuai dengan kebutuhan anak tersebut.
Menghindari pola komunikasi agresif dan pasif sangat penting dalam mendidik anak. Dengan menggunakan pola komunikasi asertif, orang tua dan guru dapat membantu anak memahami aturan dan harapan tanpa merusak perasaan mereka. Ini adalah langkah penting dalam membangun hubungan yang sehat dan mendukung perkembangan positif anak.
Dengan menerapkan komunikasi yang tepat, kita tidak hanya mendidik anak menjadi individu yang percaya diri dan mandiri, tetapi juga menciptakan lingkungan yang penuh kasih dan pengertian.
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS