BORNEOTRIBUN YOGYAKARTA — Ratusan ribu hektar lahan pertanian hilang setiap tahunnya, dan beralih fungsi ke sektor lain. Upaya pengendalian dilakukan, namun lajunya seolah tak tertahan karena sejumlah faktor.
Dengan sepeda motor bebek tua, Santoso berkendara di jalanan batu, kawasan pertanian Kledung, Temanggung, Jawa Tengah. Di jok belakang, dia meletakkan kotak kayu dengan bibit tanaman di dalamnya. Petani berumur 60-an tahun itu menggarap sepetak kebun di lahan miring kaki Gunung Sindoro itu.
“Ini tanah sewa tahunan, kalau tanah saya sendiri sudah saya jual, ha..ha..ha. Ini tanah saya sewa setahun Rp5 juta. Luasnya sekitar 4 ribu meter persegi. Setiap tahun sewanya nambah, kalau enggak mau nambah, diminta tanahnya,” ujarnya sambil tertawa.
Tanah garapan Santoso itu awalnya milik petani setempat, namun telah dibeli oleh seorang konglomerat dari Jakarta. Berhektar-hektar tanah itu akan dijadikan obyek wisata. Lokasinya memang tepat, berada di lembah antara dua gunung, yaitu Sindoro dan Sumbing di Jawa Tengah. Hawa sejuk, kabut, dan wajah gunung itu ketika cuaca cerah menjadi daya tarik tersendiri.
Sholeh, rekan Santoso yang juga sedang berada di kebunnya, turut menggarap lahan sewaan. Keduanya menanam tanaman bergantian sesuai musim, aneka sayuran, kentang, dan jagung. Di ladang yang berbeda, tanaman kopi juga ada, sebagian bahkan sedang panen.
Namun, ketika ditanya berapa hasil dari bertani, Sholeh hanya tertawa.
“Petani itu, kalau pas panen harganya malah anjlok. Yaa, hasilnya cuma bisa buat beli tahu sama tempe. Terus, namanya tinggal di desa, banyak kebutuhan sosial, ada orang meninggal, melahirkan, menikah,” kata Sholeh tergelak.
Di lahan yang kini milik konglomerat itu, berdiri sebuah kafe yang menyediakan kopi, makan dan aneka camilan. Secangkir kopi, dijual Rp25 ribu, sedangkan sepiring kecil kentang goreng, harganya Rp20 ribu. Kedua petani itu kembali tertawa terbahak-bahak mendengar harga keduanya.
Bagaimana tidak, sekilo kentang hanya bisa mereka jual di kisaran Rp10 ribu. Tidak terbayangkan, harga kentang goreng di samping kebun mereka, yang mungkin irisan dari dua butir kentang, harganya dua kali lipat dari satu kilogram kentang mereka .
Sholeh bercerita awalnya, hanya sawah di tepi jalan besar yang terjual. Pelan-pelan, lahan di sampingnya berpindah tangan satu persatu.
“Sekarang sudah sampai sana, jauh dekat jalur listrik itu,” kata Sholeh sambil menunjuk kabel listrik tegangan tinggi yang melintasi kawasan tersebut.
Sementara seorang petani perempuan yang sedang menabur pupuk di tanaman cabainya, mengaku tak akan pernah mau menjual sawah itu.
“Kalau ini dijual, saya enggak ada kegiatan. Nanti anak-anak saya juga bingung mau kerja apa buat cari rejeki,” ujarnya kepada VOA.
Upaya Pemerintah Tak Cukup
Data Kementerian Pertanian menyebut luas lahan yang beralih fungsi pada 2011 sebesar 110 ribu hektar. Pada 2019, angkanya naik menjadi 150 ribu hektar.
Jawa Tengah sendiri kehilangan tahan pertanian seluas lebih 54 ribu hektar selama 2013-2019, menurut data Badan Pertanahan setempat. Kebutuhan untuk pemukiman, tambang, dan ekspansi sektor pariwisata menjadi beberapa penyebabnya. Di Kledung, yang memiliki daya tarik wisata alam luar biasa, bisnis pariwisata nampaknya menjadi ancaman dominan.
Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Jawa Tengah, Edi Sutrisno, menilai pemerintah setempat tidak melakukan upaya yang cukup untuk menahan laju alih fungsi lahan pertanian. Sebenarnya, kata dia, petani tidak akan pernah mau menjual lahannya jika harga produk mereka dilindungi pemerintah.
“Selama ini, kan petani masih bertahan walaupun pemerintah tidak ikut campur tangan. Pemerintah memberi standar harga, tetapi tidak menjamin pembelian. Yang agak susah itu,” kata Edi ketika dihubungi VOA.
Edi mengatakan, selama ini petani bekerja dengan baik dan menghasilkan produk yang juga baik. Proses menanam padi, cabai, atau tanaman lain mayoritas memberi hasil sesuai dengan harapan. Namun setelah produk itu dipanen, petani tidak memiliki kuasa atas pasar produk pertanian. Harga biasanya anjlok, sehingga kinerja petani yang baik itu tidak menerima hasil yang baik juga.
Kondisi semacam itu, yang kadang mendorong petani terpaksa menjual lahan mereka. Eko meyakinkan, tidak ada petani yang berniat menjual lahan, karena itu menjadi sumber panghasilan. Alih fungsi lahan, lebih banyak terjadi karena faktor eksternal, seperti harga produk pertanian yang buruk terus menerus, ijin pertambangan oleh pemerintah, atau proyek-proyek besar yang merusak lahan pertanian. Termasuk diantaranya, kebijakan impor produk pertanian.
“Untuk menahan laju alih fungsi lahan pertanian, kebijakan impor harus ditekan. Memfungsikan hasil dalam negeri saja, wong kita sendiri produksi kok, kenapa beli dari luar. Logikanya kan begitu. Pemerintah itu yang menguasai soal harga, artinya yang bisa mengatur,” tambahnya.
Eko juga menyayangkan, Indonesia sudah memiliki UU Perlindungan Petani sejak 2013, tetapi sampai saat ini di daerah tidak ada Perda yang mendukungnya. Dia juga menyebut, UU Cipta Kerja akan menjadi ancaman serius bagi sektor pertanian, dalam kaitannya lahan. Meski pemerintahn berulangkali memberika klaim yang berkebalikan, yaitu bahwa UU tersebut justru akan membantu petani.
Jaga Produksi di Lahan Menyusut
Pemerintah tentu menyadari lahan pertanian semakin menyusut. Kementerian pertanian menyebut, setiap tahun lahan yang hilang itu setara dengan 300 ribu ton produk tani.
Berbagai langkah dilakukan, salah satunya mengembangkan varietas padi yang lebih baik, yang diberi nama IP 400. Pejabat Kementerian Pertanian, Enie Tauruslina Amarullah, mengatakan varietas padi ini mampu dipaneh empat kali dalam setahun, atau satu kali lebih banyak dari varietas yang ada saat ini.
“IP 400 itu salah satu program yang dicanangkan untuk meningkatkan produksi dalam rangka swasembada pangan, yang akan kita penuhi targetnya tahun ini. Jadi produksi nasional 9 juta ton, untuk tahun 2022, kita harapkan itu,” kata Enie di Yogyakarta, Rabu (16/2).
Varietas baru ini memang penting, karena program swasembada dicanangkan di tengah situasi lahan pertanian yang menyusut.
“Ditengah alih fungsi lahan yang marak, penanaman padi IP400 yang bisa dipanen empat kali setahun ini merupakan wujud ketahanan pangan,”kata dia lagi.
Pertengahan Januari 2022, pemerintah pusat juga telah menetapkan peta Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) di delapan provinsi. Delapan provinsi terpilih itu adalah Sumatra Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.
Pemerintah meyakini, penetapan LSD adalah upaya menjaga lahan sawah agar tidak tergerus alih fungsi lahan. Pada gilirannya, upaya itu juga mendukung terwujudnya swasembada pangan yang digadang-gadang sejak lama. Melalui kebijakan tersebut, kementerian dan lembaga terkait berkomitmen menjaga luasan sawah dari ekspansi sektor lain. Pemetaan dengan teknologi maju juga dilakukan, agar penerapannya di lapangan tepat sasaran. [ns/ab]
Oleh: VOA Indonesia
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS