Nakes di RS Persahabatan mengajak seorang pasien di Unit Perawatan Intensif (ICU) khusus pasien COVID-19, berolahraga, 13 Mei 2020. (Foto: Reuters/ilustrasi) |
BorneoTribun Jakarta - Puncak varian omicron di Indonesia diperkirakan terjadi pada akhir Februari hingga Maret. Beberapa penelitian awal menyebut omicron tidak seganas varian-varian sebelumnya, tapi para pakar kesehatan memperingatkan untuk tidak menyepelekannya. Salah satu alasannya, karena varian ini masih mungkin menimbulkan gejala lanjutan atau long Covid setelah sembuh.
Setelah dirawat di rumah sakit selama enam hari karena virus corona varian Omicron, Fitria Yusuf diperbolehkan pulang. Tapi gejala yang dialami warga Edmonton, Kanada ini, tak berhenti sampai di situ. Fitria, yang sedang hamil dan sudah divaksin lengkap, mengalami gejala lanjutan atau long Covid.
"Sampai sekarang saya untuk aktivitas keseharian masih termasuk susah. Misalnya dua hari lalu ke dokter untuk cek kehamilan, di situ saya harus nyetir, naik turun tangga, itu rasanya kaya habis lari maraton. Sangat melelahkan," ujar Fitria kepada VOA.
Lelah adalah adalah salah satu keluhan yang banyak dilaporkan oleh para penyintas Covid-19. Sebagian penyintas lain mengeluhkan kabut otak, napas tersengal-sengal dan bahkan depresi.
Tapi apakah semua penyintas Covid pasti akan mengalami long Covid? Dan apakah penyintas varian Omicron akan mengalami gejala lanjutan yang berbeda dari varian-varian sebelumnya?
Jawabannya singkatnya: kita belum tahu.
Omicron pertama kali diidentifikasi pada bulan November. Meski beberapa penelitian awal menyebutkan varian ini tidak seganas yang sebelumnya, tapi jangan disepelekan, kata dr. Dicki Harnanda dari RS Mitra Plumbon Cirebon.
Alasannya, karena Omicron masih bisa menyebabkan penyakit yang berat bahkan kematian. Dan yang jauh lebih penting, belum cukup data mengenai apakah Omicron bisa menyebabkan long Covid.
"Dan ini harus diwaspadai. Pengalaman-pengalaman dari varian-varian sebelumnya, bahkan orang yang tidak bergejala pada saat infeksi akut pun, tetap bisa mengalami long Covid," ujarnya kepada VOA.
Ia menambahkan, berat atau ringannya gejala saat sakit, tidak menentukan dampak long Covid. "Artinya kalau kita selama ini berasumsi, 'Oh karena Covid-nya berat, dirawat di rumah sakit, masuk ICU, pasti nanti long Covid. Oh kalau saya, saya seorang atlet, tidak mengalami gejala apapun, berarti tidak akan mengalami long Covid.' Itu salah besar," ujar pria yang telah menangani pasien Covid selama dua tahun ini.
Para dokter tetap menganjurkan vaksinasi dan booster sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan timbulnya long Covid atau menekan keparahannya.
Saat ini berbagai studi yang mempelajari orang-orang yang telah divaksin lengkap dan long Covid masih dipusatkan pada data yang dikumpulkan sebelum kemunculan varian Delta. [vm/em]
Oleh: VOA Indonesia
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS