BorneoTribun | Jakarta - Banyak negara berencana menggratiskan vaksin Covid-19 untuk seluruh warga negaranya. Namun tidak demikian halnya dengan Indonesia. Mengapa?
Pemerintah memutuskan untuk memberikan vaksin Covid-19 melalui dua skema yakni gratis dan berbayar. Keputusan ini pun menuai kritik berbagai kalangan masyarakat.
Adapun, rasio penduduk yang harus membayar untuk mendapatkan vaksin adalah 70 persen atau sekitar 75 juta orang dari 107 penduduk berusia 18-59 tahun yang ditargetkan pemerintah sebagai penerima vaksin Covid-19.
Keputusan pemerintah ini dikhawatirkan menimbulkan reaksi penolakan sehingga tujuan herd immunity yang diinginkan tidak akan tercapai.
Seorang karyawan bagian produksi vaksin Covid-19 di Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, 12 Agustus 2020. (Foto: Bayu Ismoyo/ AFP) |
Menanggapi hal ini, juru bicara program vaksinasi yang juga Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia tidak akan cukup untuk menanggung biaya program vaksinasi massal Covid-19 untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Pasalnya, pemerintah saat ini sudah mengeluarkan anggaran yang cukup besar dalam penanganan pandemi Covid-19 ini.
“Kita juga memperhatikan kondisi fiskal negara kita. Sehingga selain vaksinasi nasional yang harus kita kerjakan, untuk orang-orang yang sakit atau pun harus dirawat karena Covid-19, harus diisolasi karena Covid-19, di tahun 2021 tentunya layanan ini tidak bisa dihentikan karena kita fokus semuanya untuk vaksinasi. Ini kan akses layanan ini harus tetap kita lanjutkan, “ ujarnya kepada VOA, di Jakarta, Selasa (15/12).
Ia mengatakan, pemerintah pun juga sudah mengeluarkan berbagai stimulus untuk memperbaiki perekonomian yang anjlok. Apalagi, pendapatan negara telah berkurang drastis akibat adanya relaksasi pajak.
Siti mengatakan, jumlah mereka yang memerlukan vaksin Covid-19 juga sangat besar, jauh lebih besar dibanding jumlah peserta program-program vaksinasi atau imunisasi massal yang pernah digelar oleh pemerintah sebelumnya.
“Tapi kita harus melihat kalau negara lain, penduduk Singapura berapa jumlahnya dibandingkan Indonesia, kalau kita jumlah penduduknya sama dengan Singapura mungkin kita bisa (gratis). Yang kedua, Malaysia misalnya, sama juga. Jadi kita harus melihat perbandingan bukan hanya negaranya saja, tapi juga lihat jumlah penduduk yang harus dilakukan vaksinasi,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa skema vaksinasi Covid-19 secara mandiri utamanya akan ditujukan kepada perusahaan untuk bisa memvaksin seluruh karyawannya. Sehingga, para pengusaha ini nanti dapat menjalankan kembali usaha mereka.
“Itu bisa menjalankan bisnisnya kembali. Jadi pabrik bisa berproduksi, seperti kondisi sebelumnya. Jadi itu yang diharapkan supaya, kita makin menggerakkan roda ekonomi, akan ada penyerapan tenaga kerja, akan ada perputaran ekonomi dan sebagainya,” tuturnya.
Siti menjelaskan bahwa untuk tahap awal pemerintah membidik sebanyak 35 juta orang yang bisa mendapatkan program vaksinasi secara gratis. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa cakupan ini akan bertambah lagi.
“Tapi angka ini akan sangat berkembang ya pasti kemungkinan akan ada perluasan. Itu hanya perkiraan awal saja, karena memang belum memutuskan secara resmi berapa proporsinya, berapa jumlah, karena jumlah cakupannya yang akan divaksin pun juga masih terus berkembang,” jelasnya.
Pemerintah Belum Menetapkan Harga Vaksin Covid-19
Siti juga menegaskan bahwa pemerintah sampai saat ini belum secara resmi menetapkan harga vaksin COVID-19. Hal ini dikarenakan, seluruh kandidat vaksin Covid-19 yang ada masih dalam tahap uji klinis tahap-III. Ini terkait munculnya daftar harga vaksin Covid-19 yang sudah beredar di media sosial baru-baru ini.
“Kalau saya bilang harga-harga itu hoaks ya, menurut saya sumber datanya harus kita pertanyakan apalagi sudah dalam bentuk rupiah. Pemerintah sendiri belum memberikan , belum ada pemberitahuan resmi terkait harga vaksin, karena kita sendiri belum tahu kan vaksinnya , dan sebagian besar kalau kita melihat situasi vaksin yang saat ini masih di fase-III dari uji klinis, vaksin ini sendiri baru akan available kira-kira Juni 2021,” tegasnya.
Siti juga menjelaskan bahwa memang ada kemungkinan harga-harga vaksin Covid-19 akan berbeda antara satu merk dengan merk lainnya. Menurutnya, hal tersebut wajar karena harga vaksin ditentukan berdasarkan biaya produksinya.
“Misalnya kalau kita mendapatkan akses untuk mendapatkan harga vaksin yang murah, melalui diplomasi multilateral dan sebagainya, itu juga memungkinkan salah satu alternatifnya. Kalau kualitas kan nanti akan sama, kalau dia sudah lolos uji klinis fase III, dan mendapatkan ijin dari BPOM ya kita akan menjamin bahwa kualitas vaksin itu akan sama,” pungkasnya.
Vaksin Gratis Adalah Amanat Undang-Undang
Ahli epidemiologi Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan, berdasarkan regulasi yang ada yakni dalam UU Kesehatan dan UU Kekarantinaan Kesehatan, vaksin seharusnya diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat secara gratis.
“Jangankan pandemi, kejadian luar biasa (KLB) saja yang merupakan outbreak very low level, kaya di kecamatan, kabupaten kalau ada KLB misalnya demam berdarah pada situasi ini kalau ada vaksin demam berdarah tidak boleh meminta bayaran. Harus diberikan secara gratis,” ungkapnya kepada VOA.
Menurutnya, anggaran negara yang dikatakan pemerintah tidak mencukupi ini disebabkan karena pemerintah selama ini tidak fokus dalam menangani pandemi.
Lebih lanjut ia menjelaskan, salah satu faktor keberhasilan dalam program vaksinasi untuk mencapai herd immunity adalah jumlah penduduk yang divaksin harus mendekati 100 persen.
Berdasarkan laporan Bank Dunia, ada sekitar 115 juta atau 45 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori miskin dan rentan miskin hingga April 2020. Menurut Dicky, orang-orang tersebut tidak akan mampu membeli vaksin.
“Ini kan artinya ada potensi 45 persen kurang lebih dari penduduk ini yang akan mengurangi cakupan yang idealnya tadi 100 persen. Bagaimana mau berhasil herd immunity atau strategi vaksinasi kita?,” ujarnya.
Situasi ini diperparah dengan adanya kelompok masyarakat yang masih menganggap bahwa virus corona tidak ada, sehingga pengadaan vaksin hanya dianggap mencari keuntungan semata.
“Itulah sebabnya dua prinsip dasar dalam program vaksinasi di situasi pandemi atau wabah sebesar epidemi harus gratis dan sukarela. Itu dua prinsip yang harus dijunjung tinggi untuk menjamin keberhasilan program vaksinasi itu sendiri,” jelasnya.
Menurutnya, yang bisa dilakukan pemerintah bila tidak memiliki dana adalah dengan menggalang dana, misalnya dengan menggalakkan corporate social responsibility (CSR).
Penjualan Vaksin Berpotensi Munculnya Permainan Harga
Dicky menjelaskan salah satu manfaat pemberian vaksin secara gratis adalah untuk mencegah terjadinya permainan harga dipasaran. Menurutnya, hal tersebut sudah terbukti dimana kandidat vaksin tiga besar di dunia yakni Pfizer, Moderna dan Oxford sudah dikuasai oleh negara-negara maju.
“Artinya ketika ini dilepas pada mekanisme pasar, hukum ekonomi berlaku. Siapa yang punya uang, siapa punya akses ya cepat (mendapatkan vaksin). Ini yang dikhawatirkan ketika ada mandiri, dan ada gratis,” kata Dicky.
Selain monopoli harga, dikhawatirkan juga timbulnya pasar gelap atau black market. Maka dari itu, ia menyarankan kepada pemerintah agar sebisa mungkin vaksin Covid-19 ini diberikan secara gratis agar masalah-masalah baru tidak muncul. [gi/ab]
Oleh: VOA Indonesia
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS