Ruhollah Zam, jurnalis "pembangkang" Iran yang dijatuhi hukuman mati pada 12 Desember 2012 lalu (foto: dok). |
Borneo Tribun - Jumlah wartawan yang dipenjara akibat pekerjaan mereka mencapai rekor tertinggi pada tahun 2020 yaitu 274 orang di seluruh dunia. Survei tahunan organisasi kebebasan pers, Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ) mencatat China, Turki dan Mesir sebagai negara dengan pemenjaraan wartawan terbanyak. Unjuk rasa di AS juga mencatat kasus penahanan jurnalis paling banyak sejauh ini.
Ketika informasi tentang virus baru yang mematikan muncul di China, beberapa wartawan lokal memberitakannya lewat media sosial. Sebagai tanggapan, pemerintah setempat memenjarakan mereka.
Tindakan keras serupa terhadap aksi peliputan oleh wartawan berujung pada rekor pemenjaraan 274 jurnalis di seluruh dunia sepanjang tahun 2020, berdasarkan data Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ).
Courtney Radsch, Direktur Advokasi komite tersebut mengatakan, “Ini rekor terburuk, 274 pemenjaraan, yang disebabkan dua alasan utama. Pertama, reaksi terhadap pandemi kesehatan global, yang diwarnai peningkatan tuduhan berita salah atau berita palsu terhadap wartawan, sebagai balasan atas laporan independen mereka. Kedua, tindakan keras yang terkait (peliputan) aksi unjuk rasa.”
Kondisi pandemi menambah urgensi penegakan keadilan bagi wartawan yang ditahan. Setidaknya dua jurnalis meninggal dunia dalam tahanan akibat Covid-19. Keluarga dari wartawan lainnya, asal Kirgistan, Azimjon Askarov, percaya ia meninggal karena virus tersebut.
“Dalam pandemi kesehatan global seperti Covid-19, hukuman penjara untuk jurnalis bisa menjadi hukuman mati bagi jurnalis, karena (dalam penjara) tidak bisa menjaga jarak sosial. Mereka tidak memiliki akses terhadap alat pelindung diri dan, tentu saja, seperti yang kalian ketahui, penjara adalah katalis penularan,” tambah Radsch.
Data komite itu menunjukkan cuplikan sejumlah jurnalis yang dipenjara per 1 Desember. Akan tetapi, lebih banyak wartawan yang ditahan ketimbang dibebaskan sepanjang tahun ini. Di AS, lebih dari 117 wartawan sempat ditahan atau ditangkap ketika meliput unjuk rasa menentang ketidakadilan rasial atau yang berhubungan dengan pemilihan presiden. Beberapa masih menghadapi dakwaan.
Kirstin McCudden, Editor Pelaksana US Press Freedom Tracker, menuturkan, “Unjuk rasa selalu menjadi tempat yang luar biasa berbahaya bagi wartawan dibandingkan liputan lainnya. Ini semua bermula ketika George Floyd tewas pada 25 Mei lalu di Minneapolis, Minnesota. Pada 26 Mei, kita melihat serangan pertama terhadap wartawan yang meliput demonstrasi nasional, dan pada 29 Mei, terjadi penangkapan pertama terhadap wartawan. Sepanjang 2020, kami mencatat penangkapan atau penahanan 117 jurnalis.”
Unjuk rasa di Belarus juga meningkatkan penangkapan wartawan, di mana 10 orang ditahan sejak terpilihnya kembali Presiden Belarus Aleksandr Lukshenko. Hasil pemilu itu disengketakan.
Di Ethiopia, yang baru-baru ini menunjukkan tanda-tanda kebebasan pers yang lebih menjanjikan, beberapa wartawan ditahan karena meliput unjuk rasa di kawasan Tigray.
“Apakah Belarus dan Ethiopia sungguh ingin bergabung dengan China, Turki, Mesir, Arab Saudi, dalam daftar negara yang memenjarakan wartawan karena hasil kerja mereka? Tentu saya harap tidak,” tukas Courtney Radsch. [rd/ka]
Oleh: VOA Indonesia
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS