Seorang anak perempuan Nigeria sedang mengaji di kota Kano di bagian utara Nigeria, 21 Juli 2012, sebagai ilustrasi. (Foto: REUTERS/Akintunde Akinleye) |
BorneoTribun - Remaja berumur 15 tahun, Umi Ali, memimpin sekelompok anak perempuan di sebuah toko reparasi ponsel. Di tempat itu mereka mendapat upah untuk memperbaiki ponsel yang rusak, mengecasnya dan memindahkan foto atau video milik konsumen.
Umi Ali mengatakan dia putus sekolah empat bulan lalu, setelah pernikahannya. Tapi dia senang bisa bekerja di tempat itu.
"Saya bahagia karena sekarang bisa memperbaiki ponsel, dulu tidak bisa, sekarang bisa. Dan saya juga bisa memperbaiki laptop dan melakukan banyak hal lain. Saya bersyukur," katanya.
Di wilayah Nigeria itu, 68 persen anak perempuan menikah sebelum usia 18.
Tanpa pendidikan, anak-anak perempuan itu tak ada pilihan selain menjadi isteri dan ibu, sementara anak-anak laki-laki lainnya merintis karir.
Namun, di ruang aman seperti yang diciptakan Inisiatif Pemberdayaan Isa Wali, anak-anak perempuan belajar membaca, menulis dan mengembangkan keterampilan, termasuk keterampilan yang pada umumnya didominasi laki-laki.
"Laki-laki dianggap sebagai pemberi nafkah, dia yang melakukan semuanya, sementara perempuan hanya boleh jadi isteri dan melahirkan. Agama dibawa-bawa, karena mayoritas di sini muslim, padahal itu merupakan salah persepsi. Sebenarnya Islam mengatakan kejarlah ilmu ke manapun dan tidak dikatakan laki-laki atau perempuan," kata Amina Hanga, sekretaris eksekutif organisasi.
Program 'Pathway to Choice' yang disponsori oleh Yayasan Ford, yang diadakan di beberapa komunitas, telah memberdayakan lebih dari 200 anak perempuan. Hasilnya 76 persen di antaranya kembali ke bangku sekolah.
Di antaranya adalah Rabi Salisu, yang mengatakan anak-anak perempuan dalam keluarganya hanya sampai di jenjang sekolah dasar.
"Sejujurnya di rumah, mereka tidak mengijinkan kami melanjutkan sekolah karena semua kakak adik saya tidak lulus sekolah. Begitu kami bermimpi untuk sekolah, mereka (orangtua) akan mengawinkan kami," katanya.
Pemerintah federal Nigeria mengesahkan UU Hak Anak pada 2003, melarang pernikahan dan pertunangan anak di bawah usia 18.
Namun, 11 negara bagian di Nigeria Utara belum memberlakukannya di tingkat negara bagian.
"Dengan penerapan hukum seperti UU hak anak, kekerasan dalam rumah tangga bisa dicegah dan akan membantu menjamin agar anak-anak perempuan memperoleh pendidikan," kata Amina Hanga.
PBB memperkirakan akan ada 13 juta pengantin anak lagi akibat keterpurukan ekonomi yang dialami keluarga-keluarga miskin di tengah pandemi Covid-19.
Namun, terlepas dari dampak pandemi, anak-anak perempuan itu berjuang untuk bisa mandiri.
"Saya tidak mau menjadi beban orang tua atau suami, jadi ketika ada keperluan saya tinggal gunakan uang saya sendiri. Saya bahagia bisa kembali ke sekolah karena merupakan kemajuan besar," kata Rabi Salisu.
Kementerian Urusan Perempuan mengatakan pihaknya terus memberdayakan perempuan di tingkat desa melalui pengembangan industri rumahan dan berbagai pelatihan agar mereka bisa menghidupi keluarga dengan lebih baik. (VOA)
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS